SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI KUMPULAN ARTIKEL MA'HAD MIFTAHUSSALAM BANYUMAS JAWA TENGAH INDONESIA

Selasa, 17 Januari 2012

MENYIKAPI KESALAHAN DAN ORANG SALAH (JUGA ADA FIKIHNYA) -perhatikan lagi pendetilannya- (Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri)

بسم الله الرحمن الرحيم

Pertanyaan: Fadhilatus-Syaikh, apakah ketika seseorang dari ulama besar salah, boleh atau dibenarkan bagi seorang pemuda untuk membantah kesalahannya? Atau (yang harus) membantahnya seorang ulama juga semisalnya? Dimana sebagian anak muda lancang menolak fatwa sebagian ulama yang mana fatwa itu terkadang sensitif menurut syariat, lalu sang ulama tersebut memfatwakannya karena darurat atau menurutnya ada hikmah dibaliknya –barakallahufikum-, apa pendapatmu dalam hal ini? Semoga Allah membalas kebaikanmu.

Jawaban: Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dialah) penolong orang-orang shalih dan Rab orang-orang baik. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya, penghulu anak Adam seluruhnya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada beliau dan keluarganya serta para shahabatnya yang baik lagi suci sampai hari akhir. Amma ba’du:

Sesungguhnya apa yang kalian tanyakan, perlu dilihat dari dua sisi, sebagaimana perlu dilihat kepada siapa pemilik pendapat keliru tersebut dari dua sisi juga. Demikianlah Ahlussunnah, mereka melihat kepada (jenis) penyimpangan dan kepada (orang) yang menyimpang.

Adapun (jenis) penyimpangan, (ia) tidak keluar dari dua keadaan:

-          Apakah penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang bukan ranah ijtihad, apakah dalam perkara pokok agama atau cabang-cabangnya, seperti banyak terdapat dalil Al Qur’an dan Sunnah berkenaan dengannya dan disepakati oleh para imam (ijma’), atau telah dianggap seperti ijma’, dan ketika itu orang yang menyimpang (mukhalif) tidak ada padanya nas-nas yang menguatkan pendapatnya. 

-          Atau penyimpangan tersebut terjadi pada perkara yang merupakan ranah ijtihad, atau perkara yang nas-nasnya (dalil-dalil) muhtamal (memiliki banyak sudut pandang). 

Maka jenis pertama: yaitu perkara yang bukan merupakan ranah ijtihad, sesungguhnya penyelisihan dalam hal ini tidak benar sama sekali dan kesalahan harus disanggah dari siapa pun orangnya.

Kemudian orang yang menyelisihi (kebenaran) ini tidak lepas dari dua keadaan:
-          Apakah ia seorang pengikut sunnah, orang-orang mengenalnya sebagai orang yang istiqamah di atas sunnah, membela sunnah dan ahlussunnah. Sebagaimana ia juga dikenal sebagai orang yang menginginkan kebaikan bagi ummat. Maka orang seperti ini kesalahannya tidak boleh diikuti dan kehormatannya (harus) dijaga. Dan meskipun kita membantah kesalahannya kita tetap menjaga adab bersamanya dan kita menjaga kehormatannya. Dan kita tidak berkata keras kepadanya seperti kepada ahlulbid’ah para pengekor kesesatan. Dan hal yang demikian itu sebagai bentuk penghargaan atas anugrah Allah kepadanya berupa keutamaan dan kemuliaan serta kepemimpinan dalam agama. Maka kita menjaga hal ini semua.

Dan apabila kalian melihat kapada kebanyakan imam-imam di atas sunnah, orang-orang yang disaksikan manusia (keimaman mereka) dikehidupan mereka dan begitu pula kita harap setelah kematian mereka insyaAllah, ada pada mereka kesalahan-kesalahan, ketergelinciran. Lalu ulama-ulama sezaman mereka membantah mereka dan begitu pula ulama-ulama setelah mereka sambil tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka serta tidak bertindak sewenang-wenang kepada mereka dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kasar.

-          Atau orang yang menyelisihi (kebenaran) ini menyelisihi dalam artian membangkang dan sombong serta merasa lebih tinggi dari kebenaran dan mengikuti hawa nafsu. Maka orang ini tidak ada penghormatan untuknya disisi ahlussunnah. Ahlussunnah membantah kesalahannya dan bersikap keras kepadanya serta mensifatinya dengan bid’ah dan kesesatan. Dan memperingatkan ummat darinya dan menggunakan ucapan-ucapan yang keras. Kecuali apabila (hal itu) mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada kemaslahatan yang diharapkan. Maka ahlussunnah (dalam hal ini) mencukupkan dengan membantah kesalahannya dan menjauhinya. Hal yang demikian ini apabila si mubtadi’ sesat tadi di negeri tersebut dan dihati masyarakatnya memiliki pengaruh dan posisi, seperti kalau dia itu seorang mufti negara atau salah seorang menteri seperti menteri wakaf atau menteri kehakiman atau dia termasuk orang dekat pemerintahan atau tergolong ulama yang dipercaya oleh negara dan ahlussunnah lemah. Maka (dalam kondisi seperti ini) kita tidak mensifatinya dengan sifat-sifat seperti ini, (tapi cukup) kita katakan: ini keliru, Asy-Syaikh fulan keliru dalam masalah ini dan kita tidak terima ini darinya (karena) ukurannya adalah dalil, sedangkan dalil yang ada menyelisihinya.

Dan sudah sewajibnya bantahan itu (muatannya) ilmiyah, bersandar kepada Al Kitab dan Sunnah sesuai pemahaman salafusshalih, jauh dari kebohongan dan kata-kata kasar yang menjadikan orang-orang yang mendengar merasa risih dan menjauh darinya serta meninggalkan kebenaran yang ada pada kita atau pada kalian karena mereka mendengar kata-kata yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan citra seorang penuntut ilmu.

Karena bantahan yang bersandar kepada Al Kitab dan As-Sunnah dan sesuai pemahaman salafus-shalih, (dan bantahan yang) padanya ditampakkan kebenaran dan dipatahkan kebatilan, orang-orang yang adil akan menerima bantahan seperti ini dan tidak menyelisihinya meskipun mereka mencintai pihak yang sedang dibantah ini. Dan ini mujarab –barakallahufiik- maka perhatikanlah.

Jenis kedua dari penyelisihan-penyelisihan yaitu dalam perkara yang masih di dalam ranah ijtihad. Dalam hal ini (cukup) bagimu menerangkan pendapat yang kuat menurutmu dan jangan mencela pihak lain dan jangan mentahdzirnya dan jangan (pula) engkau juluki dia mubtadi’ sesat atau menyimpang. Tapi (cukup) kamu katakan: yang benar menurutku ini.

Sebagai contoh: (masalah) tertib/berurutan dalam berwudhu’. Jumhur (ulama) berpendapat tertib itu wajib. Diantara mereka Al Imam Ahmad dan murid-muridnya –rahimahumullah-. (Sedangkan) hanafiah dan para ulama yang sependapat dengan mereka memilih (tertib dalam berwudhu’) tidak wajib. Maka kita membantah hanafiah (tapi) tanpa mencela dan tanpa kata-kata kasar. (Cukup) kita katakan: Yang kuat menurut kami, atau yang terkuat dari dua pendapat adalah wajib.

Contoh lain: Orang yang meninggalkan shalat karena malas. Jumhur (berpendapat) dia fasik, wajib diminta bertaubat, apabila ia bertaubat (dilepas), kalau tidak dibunuh sebagai hukum had atasnya. Dan hukum atasnya seperti orang-orang fasik lainnya. Dimandikan, dikafani dan dishalatkan dan didoakan kebaikan untuknya dan dikubur di pemakaman ummat Islam, keluarganya mewarisi hartanya. Dan ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Malik dan salah satu riwayat dari Al Imam Ahmad dan selain dari mereka. Jumhur ulama sebagaimana telah aku jelaskan.

Sedangkan riwayat lainnya dari Al Imam Ahmad dan ini juga pendapat para muhaqqiq imam, diantara mereka Asy-Syaikh Abdul Aziz Al Imam Al Atsari, seorang mujtahid –rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin, Al Imam Al Faqih, Al Muhaqqiq Al Mudaqqiq Al Mujtahid –rahimahullah- (berpendapat) bahwa orang ini kafir dan diminta bertaubat, apabila ia bertaubat (dilepas) atau kalau tidak dibunuh sebagai orang murtad. Berdasarkan ini mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalatkan dan tidak didoakan dan keluarganya tidak mewarisi hartanya, hartanya fa’i pemerintah (bebas) membelanjakannya pada kepentingan-kepentingan umum.

Dan apabila kalian lihat pada keadaan dua kelompok dari para imam ini –rahimahumullah- kalian tidak dapati ulama yang menganggap fasik orang yang meninggalkan shalat karena malas menjuluki ulama yang menganggap orang itu kafir sebagai khawarij. Begitu pula sebaliknya kita tidak dapati ulama yang menganggap kafir orang yang meninggalkan shalat karena malas menjuluki ulama yang menganggap orang itu fasik sebagai murji’ah. Karena masing-masing mereka memiliki dalil yang kuat yang menjadi landasan dalam pendapatnya.

Saya tambahkan. Ulama yang mulia yang keliru  dalam perkara yang menurutmu kuat. Ulama ini menurutku hendaknya dinasihati dan diterangkan kepadanya kesalahannya. Apabila ia tidak menerima dari kalian angkat perkaranya kepada ulama yang lebih besar dari kalian dan dia. Karena sesungguhnya mereka akan menasihatinya dan menerangkan (kebenaran) kepadanya dan kelak ia akan kembali kepada sunnah insyaAllah.

Lihatlah (Asy-Syaikh) Al Albani –rahimahullah- dan banyak imam-imam kaum muslimin, ahlussunnah dan petunjuk –rahimahumullah- berpendapat bahwa wajah wanita bukan aurat, boleh baginya membuka wajahnya. Sedangkan Asy-Syaikh Abdul Aziz –Rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin –Rahimahullah- dan Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- berpendapat dengan pendapat yang berbeda. Akan tetapi mereka tidak mencela (Asy-Syaikh Al Albani). Dan para ulama membantah Asy-Syaikh Nashir (Al Albani) tanpa mencelanya dan tidak pula ejekan atau (kata-kata) yang berlebihan.

Begitu pula beliau (Asy-Syaikh Al Albani) memandang haramnya emas yang melingkar dan membawakan dalil bagi pendapatnya. Dan para ulama yang telah aku sebutkan (nama-nama mereka di atas) serta selain mereka tidak mencela beliau. Mereka mengatakan: Asy-Syaikh Nashir Al Albani keliru dalam hal ini dan yang benar adalah ini.

Dan demikianlah barakallahufiikum para ulama saling menghormati satu sama lain. Dan telah aku jelaskan pada kalian ukuran/timbangan (dalam hal ini) yang aku ketahui dari ucapan imam-imam kita dan ulama kita dalam perselisihan dan orang yang menyelisihi. Maka perhatikanlah ini karena perkaranya tidak sama. 


Diterjemahkan oleh Al Ustadz Jafar Salih dari transkrip rekaman tanya-jawab pemuda dari Maroko bersama Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri Hafidzahullah dengan judul Al Haddul-Fashil baina Mu’amalati Ahlissunnah wa Ahlil Bathil.

http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=11955

Jumat, 06 Januari 2012

Jika Anak Tidak Mau Makan, Apa yang Harus Diperbuat..???

          Bismillah walhamdulillah, di sela kesibukan kita beraktifitas, kita masih diberi kesempatan untuk kembali menulis hal-hal yang insya Allah bisa sedikit membantu para orang tua dalam proses mendidik putra-putrinya. pada kesempatan kali ini, kita akan sedikit membahas suatu permasalahan yang terkadang menjadi masalah yang sangat membuat cemas para orang tua yakni kebiasaan anak-anak tidak mau makan pada saat-saat tertentu...

         Kebanyakan anak pada usia tahun pertama, yang mana pada masa ini adalah masa dimana banyak pertentangan dalam masalah makanan antara dirinya dengan kedua orang tuanya. Menolak makanan merupakan problem terbanyak dalam proses perkembangan sikap mereka. Dan dapat dipastikan, sangat sedikit para orang tua yang tidak mendapati masalah tersebut pada anak-anaknya.

          Untuk mengatasi hal yang demikian, maka para orang tua haruslah memastikan terlebih dahulu, apakah ada penyakit pada diri anak akibat kurangnya asupan makanan, atau usaha keras anak untuk mendapatkan orang lain di sela-sela penundaan dan keterlambatannya dalam mendapatkan makanan, atau karena hilangnya kebahagiaan pada dirinya akibat hadirnya saudara baru atau perhatian orang tua yang berlebih pada saudaranya dibanding dirinya atau juga karena sikap keras dan perkataan yang melukainya pada saat ia menolak makan sehingga waktu makan baginya adalah waktu yang memuakkan.

Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dan kita laksanakan terkait masalah ini, diantaranya adalah;

1. Ketahuilah bahwa, teriakan dan perintah kita kepada anak supaya anak taat dan patuh, tidak akan mendatangkan manfaat sama sekali pada kesempatan apa pun.

2. Janganlah kita meminta kepada anak untuk datang secara tiba-tiba untuk makan pada saat ia sedang tenggelam asyik dengan permainannya, akan tetapi informasikan dengan kelembutan kepadanya bahwa waktu makan akan segera tiba.

3. Jangan kita bicarakan masalah kesulitan makan anak kita kepada orang lain pada saat ia sedang bersama kita.

4. Jangan memaksa anak untuk memakan semua makanan yang ada di hadapannya atau memaksanya untuk memakan sesuatu yang tidak disukainya.

5. Berikan tempat bermain dan tamasya di luar rumah yang aman bagi anak, sehingga ia pulang ke rumah dalam keadaan penuh selera untuk menghadapi hidangan makanan.

6. Jangan kita memerintahkan kepada anak untuk terburu-buru ketika sedang makan dan sebaliknya.Jangan pula kita meninggalkan/melalaikan kesempatan untuk menyampaikan sebuah sugesti kepada anak supaya dia tidak menyia-nyiakan makanan.

7. Berikan keluasan kepada anak jika ia ingin makan sendiri, berikut ini, kami sertakan eberapa tips terkait hal ini diantaranya;

a. Jika anak menolak makan, maka sang ibu hendaknya menginformasikan bahwa makanannya akan dingin dan tidak akan terasa lezat lagi.

b. Jangan kita memberikan permen, cokelat, manisan atau minuman bersoda sebagai hidangan makanan.

c. Berikan buah dan kurma atau sepotong roti di meja makan saat ibu telat menyiapkan makanannya supaya anak tidak menderita dengan rasa laparnya.

d. Suguhkan makanan secukupnya untuk menghilangkan kebiasaan menyisakan makannya di atas piring.

e. Jangan membiasakan kebiasaan sogok kepada anak ketika akan makan dengan ungkapan seperti, "makanlah dan minumlah, nanti ibu berikan sepotong coklat."

f. Menyuguhkan makanan dengan berulang-ulang, tidak akan mendatangkan manfaat jika anak tidak menyukai makanan tersebut, sehingga seorang ibu dituntut untuk mencari menu makan kesukaan anak yang sangat mengundang seleranya.

g. Jadikan saat makan sebagai kesempatan bertemu dengan keluarga dan berbincang-bincang, sebuah kesalahan jika kita melarang anak diam saat makan.

h. Suguhkan makanan yang lezat dan enak untuk anak dan berusahalah untuk menyuguhkannya pada moment-moment spesialnya.

i. Jangan mencela anak ketika ia melakukan kesalahan saat makan.

j. Jangan berselisih dengan pasangan kita pada saat makan.

k. Perlihatkan kenikmatan makan di depan anak sehingga hal tersebut akan mendorongnya untuk menyukai makanan yang menyehatkan.

          Demikianlah beberapa tips yang setidaknya bisa dicoba oleh para orang tua dalam menyikapi anak ketika dia susah untuk diajak makan.....Semoga berhasil.....[Akhfiya, Sabtu 07 Januari 2012 11.33, Miftahussalam Banyumas]

Rabu, 04 Januari 2012

Dengarkan Anak Kita...!!! [ Bag.5 ]

          Walhamdulillah, di hari yang penuh berkah dan anugerah dari Allah subhanahu wa ta'ala ini, admin bisa kembali melanjutkan pembahasan yang cukup menarik seputar pendidikan anak, naah...kali ini kita akan berbicara masalah yang sebenarnya bisa dikatakan cukup "menyebalkan" bagi anak jika......nanti insya Allah kita bahas.....hehehee....

          Yang pertama, ini sangat penting insya Allah karena terkait dengan pengembangan kepribadian anak yakni, jangan sampai kita mengabaikan anak dengan menyalakan radio atau televisi dan mengalihkan perhatian ketika mereka datang untuk menceritakan pengalaman mereka di sekolah. Ungkapan perasaan yang akan diutarakan anak kepada kita atau derita yang mereka rasakan di sekolah atau mungkin kebahagiaan dan kegembiraan yang dirasakan setelah melihat nilai yang diperolehnya hari itu merupakan hal terpenting dari segala pemikiran yang dapat menyibukkan hati dan pikiran kita.
          Berikanlah perhatian kita kepadanya jika ia mengutarakan tentang nilai ujian mata pelajaran tertentu yang dihasilkan hari itu. Berikanlah motivasi untuk terus meningkatkannya daripada kita tidak memperhatikan dan memperdulikannya sama sekali.
         Jangan sampai, jika suatu hari anak mengadu kepada kita tentang kejadian yang mereka alami di sekolah, seperti, "Temanku memukulku di sekolah," kemudian kita menjawab, "Apa benar jika kamu bukan yang memukul dan menghina lebih dahulu?" Dengan alasan seperti ini, kita benar-benar telah menutup ruang untuk berdialog dengannya, seakan-akan kita berusaha tampil sebagai hakim memposisikan anak kita dengan temannya untuk memutuskan hadiah dan sanksi, mereka bahkan menganggap kita sebagai pemutus yang dzalim karena kita menuduh korban dan menyelamatkan pelaku permusuhan.
Orang tua hendaknya cepat tanggap jika anaknya berbicara lebih dahulu kepadanya kemudian mengajaknya dialog dan selalu berusaha untuk tidak mengkritik serta mengabaikan apa yang ia katakan. Anak adalah perhiasan yang menyejukkan pandangan kita dan bahkan melapangkan hati kita, perhatikanlah matanya saat berkaca-kaca menghampiri kita, mereka berharap sekali kita akan menanggapi keluh kesah yang dirasakannya, atau bahkan ia ingin kita ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan juga....perhatikanlah...sayangilah.....-Bersambung Insya Allahu ta'ala-

Selasa, 03 Januari 2012

Keluargamu...Lebih Utama....[ Status FB ]

          Syaikh Utsaimin menjelaskan,
“Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti.

          Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyaadhus Shalihiin)

Bersikap Adil kepada Anak [ Bag. 4 ]

         Para pembaca akromakumulloh....kita langsung lanjutkan....
         Jika suatu hari kita bertanya kepada anak-anak kita, "Nak, apakah engkau mencintai ayah dan ibu?", atau dengan sedikit marah kita bertanya, "Sebenarnya engkau meremehkan ayah dan ibu," ketahuilah wahai para orang tua, bahwasanya anak-anak kita sangat membutuhkan kasih sayang dan kelembutan yang lebih serta tidak membedakannya dengan saudaranya yang lain, tidak mengutamakannya atas yang lain atau memberikan keisbukan kepadanya melebihi yang lain.
          Terkadang, anak suka memukul adiknya dengan geram dan jengkel atau membuang semua barang dan pakaian miliknya. Maka ketahuilah, bahwa sikap semacam ini adalah fithrah yang dipicu oleh perasaan bahwa kehadirang adiknya akan membawa persaingan bagi dirinya terhadap orang tua. Oleh karena itu, hendaknya orang tua selalu bersikap bijaksana dan sabar terhadap keduanya.
          Sikap adil dan tidak memanjakan anak yang lebih kecil terhadap yang besar akan dapat mengurangi banyak problem. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda, "Bertaqwalah kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anakmu."(HR. Bukhari)
          Dan dalam sebuah riwayat dari Al-Bazzar, dari Annas radhiyallahu 'anhu bahwasanya ketika seorang lelaki sedang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah putranya lalu ia menciumnya dan mendudukannya di atas betisnya, kemudian datang lagi putrinya lalu ia menciumnya dan mendudukan di antara kedua tangannya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketahuilah bahwasanya engkau telah bersikap adil kepada keduanya."
          Seperti inilah kiranya, kesamaan yang dilakukan ketika mencium . Jika salah satunya kita cium, maka hendaknya kita mencium yang lainnya......

Permusuhan di antara Anak [ Bag. 3 ]

          Alhamdulillah...segala puji bagi Allah subhanahu wa ta'ala, kita bisa kembali melanjutkan pembahasa kita seputar perhatian kita kepada anak-anak kita, ya...meskipun admin penulis ini belum punya anak, paling tidak, bisa menjadi bekal persiapan kelak dihari yang indah tatkala admin mendengar panggilan, "Papaaa...." heheheee....

          Okay, sekarang kita akan membicarakan sebuah topik yang merupakan kelanjutan dari 2 tulisan pertama pada edisi lalu, yakni "Permusuhan di antara Anak."
Pada umumnya, ada 3 jenis permusuhan yang terjadi pada anak-anak. Diantaranya adalah sebagai berikut;

a. Melindungi diri dari serangan temannya.
b. Terus-menerus memusuhi temannya agar dia menguasainya
c. Menghancurkan sebagian perabotan rumah ketika ia marah dan ia tidak mampu atau belum mapu untuk mengontrol dirinya.

          Naah, pada umumnya, permusuhan yang terjadi pada diri anak-anak yang umurnya belum memasuki sekolah, sering didorong oleh perebutan kepemilikan seperti ingin mengambil mainan orang lain atau karena mengikuti perilaku teman, saudara atau bahkan orang tuanya.

         Permusuhan tersebut juga bisa dipicu oleh waktu bermain yang terlalu panjang ketika orang tuanya tidak berada di rumah pada saat ia melakukan pemberontakan -khususnya anak laki-laki terhadap kekuasaan orang tuanya.

Senin, 02 Januari 2012

Apa yang Harus Diperbuat Jika Anak-anak Kita Bertengkar ? [ Bag.2 ]

Sikap Orang Tua Ketika Anak Bertengkar

          Insya Allah, kita akan paparkan beberapa sikap yang harus diambil oleh orang tua ketika mendapati anak bertengkar.

1. Orang tua harus ikut campur tagan ketika melihat anaknya yang ingin melukai tubuh seseorang  sehingga ancaman bahaya yang akan terjadi dapat dicegah. Caranya ialah memanggil atau menghentikan pertikaian tersebut. Kasus seperti ini terkadang sering terjadi pada anak. Adapun anak perempuan lebih cenderung untuk berteriak daripada menggunakan ototnya untuk mengekspresikan emosinya.
2. Jika keduanya telah tenang, berusahalah untuk mendengarkan sejenak penyebab perkelahian tersebut meskipun mustahil cerita tersebut benar apa adanya dan sempurna. Akan tetapi yang terpenting adalah anak merasa bahwa kita bersikap tidak memihak dan adil serta kita mendengar apa yang terbesit dalam hati mereka.
3. Jika pertikaian tersebut tidak dengan pukulan dan otot, maka kita tidak perlu terlalu cepat ikut campur dan menyelesaikannya, karena terkadang mereka butuh pertikaian dan perselisihan semacam itu. Dari perselisihan semacam itu, mereka akan mempelajari banyak hal, bahkan mereka akan mencari jalan keluar untuk menyalurkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah.
Jika kita selalu menguasai kondisi anak-anak, maka hubungan yang akan terbangun di antara mereka adalah semu. Mereka akan terkungkung oleh kekuasaan kita, lalu mereka akan menyerang yang lain ketika kita sedang lengah atau rasa permusuhan akan terus terpatri akibat tidak tersalurnya rasa tersebut pada masa kanak-kanak.
4. ketahuilah bahwa, tidak semua perselisihan yang terjadi di antara anak-anak itu berbahaya dan tidak akan berdampak buruk ketika mereka tumbuh dewasa.
5. Jelaskan pada anak-anak bahwa kita anti atau benci terhadap permusuhan yang terjadi di antara mereka, dan kerubutan yang terjadi akibat permusuhan tersebut. Jika seandainya perselisihan tersebut terjadi pada mainan, maka kita mungkin saja mengambil semuanya, kemudian menyatakan bahwa mainan tersebut akan dikembalikan setelah terjadi kesepakatan antara dua belah pihak.
6. Terkadang, permaslahan akan bertambah sulit jika diantara yang berselisih ada yang umurnya lebih tua di mana yang besar lebih kuat ketimbang yang kecil, sedangkan yang kecil dapat mencemaskan yang besar, khususnya ketika mereka meminta perlindungan. Hal tersebut dapat membuat yang lainnya sakit dan menangis.
7. Berusahalah untuk tetap adil kepada mereka, berikan pengertian kepada yang lebih dewasa agar ia menyayangi yang lebih kecil. Nasehatilah agar ia selalu bersabar serta sampaikan kepadanya untuk memberitahukan kita secara langsung jika ia telah berusaha bersabar namun tidak mampu menahan diri.
8. bantulah yang kecil untuk dapat menghormati orang yang lebih dewasa dan tidak membuat cemas mereka sehingga mereka akan membalas dendam.
9. Jangan terlalu cepat memberikan sanksi kepada yang bersalah, karena hal ini akan menumbuhkan rasa benci dan dendam dan terkadang kita salah memberikan sanksi sehingga akan menimbulkan keraguan di antara mereka terhadap keputusan kita pada masa mendatang.
10. Jangan membandingkan antara keduanya dengan berkata, "kakamu lebih baik darimu ketika seusiamu." Atau, "Kamu berbeda dengan kakamu, karena ia selalu mendengarkan apa yang aku katakan epadanya." jika hal tersebut dilakukan, maka akan menyebabkananak merasa bersalah dan membenci saudaranya. Semakin sering dibanding-bandingkan, akan melahirkan rasa benci dan enggan untuk mengikuti saudaranya meskipun sikapnya baik.
11. Semoga cara yang benar dalam meredam gejolak permusuhan di antara anak dapat merubah rasa benci mereka kepada perbuatan yang positif, seperti membantu orang lain atau membantu ibu dan lain sebagainya. Yang salah adalah ketika orang tua memaksakan anaknya untuk ikut berfikir seperti dirinya.
12. Seorang ibu hendaknya selalu menjaga ketenangan dirinya semampunya ketika anaknya marah atau ketika sedang bermusuhan dengan saudaranya.
13. Orang tua hendaknya menjadi teladan, karenanya mereka harus melepaskan rasa fanatisme dan gejolak masalah di hadapan anak-anaknya. Jika ada perselisihan antara ayah dan ibu, jangan diprtontonkan di depan anak, karena kejadian seperti ini akan terekam dalam memori anak dan suatu hari akan dipraktekan oleh anak.
14. Jangan biarkan anak merasakan manisnya kemenangan dengan memperlihatkan kesenangan orang tua ketika anak yang lain menangis dan marah karenanya.
15. Orang tua hendaknya membenahi diri terlebih dahulu. Sebab berapa banyak perkelahian yang terjadi pada anak disebabkan orang tuanya karena sikap tegas dan intervensi yang berlebihan. Keinginan agar anak selalu menaati perintahnya tanpa memahaminya serta penyebab lainnya adalah gejolak dan pertikaian mereka di rumah yang tak berarti( Dr.Clear fahim,"Masyakilul Athfal an-nafsiyah) -Bersambung Insya Allahu ta'ala-

Apa yang Harus Diperbuat Jika Anak-anak Kita Bertengkar ? [ Bag.1 ]

           Pertengkaran di antara anak-anak akan selalu terjadi di dalam sebuah rumah. Sebagian mereka bertengkar ketika melihat sebagian yang lainnya merasakan kenikmatan sedangkan dirinya tidak merasakannya, misalnya anak saya si A melihat adiknya memakan Ice Cream sedangkan dirinya tidak merasakannya, apalagi jika si adik ini memakannya dengan didramatisir (heheeee...) untuk membuat si kakak berkeinginan merasakannya. Yaa, itulah anak-anak....lucu memang....

          Naah, dalam pertikaian kecil seprti tiu, masing-masing ingin menunjukkan kemampuan, kekuatan atau bahkan kelemahan di antara mereka serta mencoba untuk meluapkan emosi dan akhirnya berusaha untuk memenangkan pertikaian.

           Di antara faktor penyebab terjadinya pertikaian, antara lain kecemburuan, perasaan kurang puas, penindasan dari sang kakak dan kurangnya perhatian dari orang tua kepada anak. Penyebab lain yang terkadang menjadi penyebab pertikaian justru datang dari dalam diri anak seperti anak laki-laki yang ingin menguasai saudara perempuannya, membandingkan postur tubuh mereka dengan yang lain  seperti pendek, tinggi, gemuk, kurus, besar atau kecil. Namun hal tersebut kebanyakan dipicu oleh keinginan anak untuk memiliki/menguasai mainan tertentu.

            Pertikaian di ats mempengaruhi urat syaraf orang tua, mereka terbentur ketika tidak mampu mencegah terjadinya pertikaian sehingga terkadang para orang tua merasa bahwa mereka tidak mampu mendidik. Mereka bertaya pada diri mereka sendiri, mengapa ia tidak mampu mendidik anak-anakya untuk tidak bertikai dan bertengkar....

           Pertama, yang harus di lakukan oleh orang tua adalah mempelajari kesehatan psikologis anak-anak. Sikap tempramen atau kegemaran bertikai yang biasa terjadi bisa saja disebabkan oleh penyakit kelenjar gondok atau asupan makanan yang salah dan lain sebagainya.

          Baiklah....insya Alloh pada tulisan berikutnya, kita akan paparkan beberapa sikap yang harus diambil oleh orang tua ketika anak-anak bertengkar...Ditunggu ya.....Baarokallohu fiykum, semoga bermanfaat...

[Dikutip dengan perubahan seperlunya dari kitab "Kaifa Turabbi Abnaa aka Fiy Hadza Zaman" Karya Hassan Syamsi Basya,  terbitan Darul Qalam Damaskus]

Minggu, 01 Januari 2012

HADITS-HADITS DHA'IF DAN MAUDHU'

Hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ada yang shahih, hasan, dha'if (lemah), dan maudhu' (palsu).
Dalam kitab haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan tentang hadits dha'if, memilih judul: "Bab larangan menyampaikan hadits dari setiap apa yang didengar."  Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam,
"Cukuplah seseorang sebagai pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia dengar." (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: "Bab larangan meriwayatkan dari orang-orang dha'if (lemah)." Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam,
"Kelak akan ada di akhir zaman segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu apa yang kamu tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka waspadalah dan jauhilah mereka." (HR. Muslim)
Imam lbnu Hibban dalam kitab Shahih-nya menyebutkan:   "Pasal; Peringatan terhadap wajibnya masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada Al-Mushthafa (Muhammad), sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya." Selanjutnya beliau menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam,
"Barangsiapa berbohong atasku (dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka." (HR. Ahmad, hadits hasan)
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu' (palsu), dengan sabdanya,
"Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka." (Muttafaq 'alaih)
Tetapi sungguh amat disayangkan, kita banyak mendengar dari para syaikh hadits-hadits maudhu' dan dha'if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di antaranya seperti hadits,
"Perbedaan (pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat."
Al-Allamah lbnu Hazm berkata, "ltu bukan hadits, bahkan ia hadits batil dan dusta, sebab jika perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq ) adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang muslim."
Termasuk hadits makdzub (dusta) adalah:
"Belajarlah (ilmu) sihir, tetapi jangan mengamalkannya."
"Seandainya salah seorang di antara kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu, niscaya akan bermanfaat baginya."
Dan masih panjang lagi deretan hadits-hadits maudhu' lainnya.
Adapun hadits yang kini banyak beredar:
"Jauhkanlah masjidku dari anak-anak kecil dan orang-orang gila."
Menurut Ibnu Hajar adalah hadits dha'if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak shahih. Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber asalnya.
Penolakan terhadap hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam :
"Ajarilah anak-anakmu shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Mengajar shalat tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam  telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam  mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu berada di masjid Rasul, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.
Tidak cukup pada akhir setiap hadits kita mengatakan, "Hadits riwayat At-Tirmidzi" atau lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang tidak shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan atau dha'if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, "Hadits riwayat Al-Bukhari atau Muslim" maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam tersebut senantiasa shahih.
Hadits dha'if tidak dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam , karena adanya cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).
Jika salah seorang dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan daging yang kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan meninggalkan daging yang kurus lagi kering.
Islam memerintahkan agar dalam berkurban kita memilih binatang sembelihan yang gemuk dan meninggalkan yang kurus. Jika demikian, bagaimana mungkin diperbolehkan mengambil hadits dha'if dalam masalah agama, apalagi masih ada hadits yang shahih...?
Para ulama hadits memberi ketentuan, bahwa hadist dha'if tidak boleh dikatakan dengan lafazh: Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam  bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits shahih. Tetapi hadits dha'if itu harus diucapkan dengan lafazh "ruwiya" (diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu untuk membedakan antara hadits dha'if dengan hadits shahih.
Sebagian ulama kontemporer berpendapat, hadits dha'if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
  1. Hadits itu menyangkut masalah fadha'ilul a'maal (keutamaan-keutamaan amalan)
  2. Hendaknya berada di bawah pengertian hadits shahih.
  3. Hadits itu tidak terlalu amat lemah (dha'if).
  4. Hendaknya tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam .
Tetapi, saat ini orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali sebagian kecil dari mereka.

CONTOH HADITS MAUDHU'

  1. Hadits maudhu' (palsu):

    "Sesungguhnya Allah menggenggam segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, 'Jadilah Muhammad'." 
  2. Hadits maudhu':

    "Wahai Jabir, bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu." 
  3. Hadits tidak ada sumber asalnya:

    "Bertawassullah dengan martabat dan kedudukanku." 
  4. Hadits maudhu'. Demikian menurut AI-Hafizh Adz-Dzahabi:

    "Barangsiapa yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap kasar kepadaku." 
  5. Hadits tidak ada sumber asalnya. Demikian menurut Al-Hafizh Al-'lraqi.

    "Pembicaraan di masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." 
  6. Hadits maudhu'. Demikian menurut AI-Ashfahani:

    "Cinta tanah air adalah sebagian daripada iman." 
  7. Hadits maudhu', tidak ada sumber asalnya:

    "Berpegang teguhlah kamu dengan agama orang-orang lemah." 
  8. Hadits tidak ada sumber asalnya:

    "Barangsiapa yang mengetahui dirinya, maka dia telah menge-tahui Tuhannya." 
  9. Hadis tidak ada asal sumbernya:

    "Aku adalah harta yang tersembunyi." 
  10. Hadits maudhu':

    "Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, 'Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan hak Muhammad agar Eng-kau mengampuni padaku." 
  11. Hadits maudhu':

    "Semua manusia (dalam keadaan) mati kecuali para ulama. Semua ulama binasa kecuali mereka yang mengamalkan (Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam, kecuali me-reka yang ikhlas.
    Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam bahaya yang besar." 
  12. Hadits maudhu'. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dha'iifah, hadits no. 58:

    "
    Para sahabatku laksana bintang-bintang. Siapa pun dari mere-ka yang engkau teladani, niscaya engkau akan mendapat petun-juk." 
  13. Hadits batil. Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dhaiifah, no. 87:

    "Jika khatib telah naik mimbar, maka tak ada lagi shalat dan perbincangan." 
  14. Hadits batil. Ibnu AI-Jauzi memasukkannya dalam kelompok hadits-hadits maudhu':

    "Carilah Ilmu meskipun (sampai) di negeri Cina."

CARA BERZIARAH KUBUR SESUAI TUNTUNAN NABl

 
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan." (HR Al-Ahmad, hadits shahih)
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
  1. Ketika masuk, sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar ketika masuk kuburan membaca,

    "Semoga keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kami dan kamu sekalian (dari siksa)." (HR Muslim)
     
  2. Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam :

    "Janganlah kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian duduk di atasnya." (HR. Muslim)
     
  3. Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (ibadah). Karena thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka'bah. Allah berfirman,

    "Dan hendaklah mereka melakukan tha'waf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka'bah)." (AI-Hajj: 29)
     
  4. Tidak membaca Al-Qur'an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,

    "Janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesung-guhnya setan berlari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah." (HR. Muslim)

    Hadits di atas mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Qur'an. Berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Qur'an di kuburan adalah tidak shahih.
     
  5. Tidak boleh memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun dia seorang nabi atau wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,

    "Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim."
    (Yunus: l06)
    Zhalim dalam ayat di atas berarti musyrik.
     
  6. Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit. Karena hal itu menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dengan tiada guna. Seandainya saja uang yang dibelanjakan untuk membeli karangan bunga itu disedekahkan kepada orang-orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru sangat membutuhkan uluran bantuan tersebut."
     
  7. Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Qur'an atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang,

    "Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan membangun di atas-nya."
    Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh'un, lantas beliau bersabda,
    "Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku."
    (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan).

PERTOLONGAN ALLAH KEPADA UMAT ISLAM

 
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman". (Ar-Ruum: 47)
Ayat Al-Qur'an ini menjelaskan bahwa Allah menjanjikan pertolongan bagi orang-orang beriman atas musuh-musuhnya. Ini adalah janji yang tidak mungkin diingkari.
Allah telah menolong RasulNya dalam peperangan Badr, Ahzab dan lainnya dari peperangan yang beliau lakukan. Demikian juga menolong para sahabat Rasulullah  sepeninggal beliau dalam meng-hadapi musuh-musuhnya. Karena itu Islam tersebar luas di banyak penjuru dunia. Islam mencapai kemenangan meskipun melalui banyak tragedi dan musibah.
Kesudahan yang baik memang pada akhirnya milik orang-orang yang benar-benar percaya kepada Allah. Yaitu mereka yang beriman kepadaNya, mengesakanNya di dalam beribadah dan berdo'a, baik dalam masa kesempitan maupun kelapangan.
Renungkanlah, bagaimana Al-Qur'an mengisahkan keadaan orang-orang beriman ketika terjadi perang Badar. Jumlah mereka relatif sedikit, juga perbekalan yang mereka bawa. Dalam kondisi seperti itu mereka kemudian berdo'a kepada Allah.
"(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhan-mu, lalu diperkenankanNya bagimu, 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut'." (Al-Anfaal: 9)
Allah mengabulkan do'a mereka, menurunkan bala bantuan malaikat yang berperang bersama-sama mereka. Para malaikat memenggal kepala orang-orang kafir dan memancung ujung-ujung jari mereka. Allah berfirman,
"Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka." (Al-Anfaal: 12)
Akhirnya tercapailah kemenangan di tangan orang-orang beriman yang mengesakan Allah. Allah berfirman,
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu men-syukuriNya." (Ali Imran: 123)
Dan di antara do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ketika perang Badar yaitu,
"Ya Allah, seandainya Engkau hancurkan kelompok dari orang-orang Islam ini, niscaya Engkau tidak disembah di bumi". (HR Muslim)
Pada saat ini, di banyak negara, kita menyaksikan umat Islam melakukan peperangan dengan musuh-musuhnya. Tetapi mereka tidak mendapat kemenangan. Lalu apa gerangan sebabnya? Apakah Allah mengingkari janjiNya kepada orang-orang beriman? Tidak, sama sekali tidak! Allah tidak mengingkari janjiNya. Tetapi yang perlu kita tanyakan kemudian adalah, di manakah orang-orang beriman sehingga datang kepada mereka kemenangan sebagaimana yang dijanjikan oleh ayat Allah di atas? Marilah kita bertanya kepada para mujahidin:
  1. Apakah mereka mempersiapkan diri dengan iman dan tauhid yang dengan keduanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memulai dakwahnya di Makkah sebelum beliau melakukan peperangan?
  2. Apakah mereka melakukan ikhtiar sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya,
    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi". (Al-Anfaal: 60)
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menafsirkan ayat di atas dengan (persiapan) melempar.
  3. Apakah mereka berdo'a kepada Allah dan mengesakanNya dalam berdo'a, saat berkecamuk perang. Atau sebaliknya, mereka menyekutukanNya dengan yang lain sehingga meminta pertolongan dari selainNya, yang mereka percayai memiliki kekuasaan. Padahal mereka adalah hamba Allah, yang tidak memiliki manfaat dan mudharat untuk dirinya sendiri.
    Lalu, mengapa mereka tidak meneladani Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dalam berdo'a yang hanya ditujukan kepada Allah semata? Bukankah Allah telah berfirman,
    "Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya?" (Az-Zumar: 36)
  4. Apakah mereka bersatu, saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, sehingga semboyan dan syi'ar mereka adalah firman Allah,

    "Dan janganlah Kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu." (Al-Anfaal: 46)
  5. Yang terakhir, ketika umat Islam meninggalkan aqidah dan perintah-perintah agama mereka, maka mereka menjadi umat yang terbelakang. Sebaliknya jika mereka kembali lagi kepada agama mereka, niscaya akan kembali pula kemajuan dan kemuliaan mereka, sebab pada hakekatnya Islam mewajibkan umat untuk maju di bidang ilmu dan kebudayaan.
Sungguh jika kalian merealisasikan iman sebagaimana yang telah diperintahkan, niscaya akan datang pertolongan yang dijanjikan kepada kalian.
Allah berfirman,
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (Ar-Ruum: 47)

SYARAT-SYARAT TURUNNYA PERTOLONGAN


Orang yang membaca Sirah Nabawiyah (Pejalanan Hidup Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam), serta jilhad beliau, maka ia akan melihat beberapa periode berikut ini:
  1. Periode Tauhid:
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tinggal di Makkah selama tiga belas tahun. Selama itu, beliau menyeru kaumnya untuk bertauhid dan mengesakan Allah dalam beribadah, berdo'a dan mengambil hukum serta menyeru untuk memerangi kemusyrikan. Hal itu terus beliau lakukan selama masa tersebut, sehingga aqidah Islam menjadi kokoh dan teguh dalam jiwa setiap sahabat, dan jadilah mereka orang-orang pemberani yang tidak takut kecuali kepada Allah.

    Karena itu, para da'i hendaknya memulai dakwahnya dengan mengajak kepada tauhid dan memperingatkan agar mereka tidak terjerumus dalam perbuatan musyrik. Dengan demikian, ia telah mengikuti teladan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dalam berdakwah.
     
  2. Periode Ukhuwah (Persaudaraan):
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berhijrah dari Makkah ke Madinah untuk mem-bangun sebuah masyarakat muslim yang tegak berdasarkan saling cinta dan kasih sayang.

    Hal yang pertama beliau lakukan adalah membangun masjid, tempat berkumpul nya umat Islam dalam beribadah kepada Allah. Di dalamnya, mereka berkumpul
    lima kali sehari, untuk mengatur hidup mereka.

    Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam segera mempersaudarakan antara kaum Anshar, penduduk pribumi (Madinah) dengan orang-orang Muhajirin dari Makkah, yang hijrah dengan meninggalkan semua harta benda mereka. Orang-orang Anshar pun lalu menawarkan harta mereka kepada kaum Muhajirin, serta membantu memenuhi apa yang mereka butuhkan.

    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mengetahui bahwa terjadi saling bermusuhan antara sebagian penduduk Madinah. Yaitu antara suku Aus dan Khazraj. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mendamaikan di antara mereka, menjadikan mereka bersaudara yang satu sama lain saling mencintai dalam ikatan iman dan tauhid. Seperti ditegaskan dalam sabda beliau, "Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya ...".
     
  3. Periode Persiapan:
    Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala memerintahkan agar umat Islam bersiap siaga untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Allah berfirman,
    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kamu sanggupi." (Al-Anfaal: 60)
    Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menafsirkan ayat ini dengan sabdanya,

    "Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah (kepandaian) melempar." (HR. Muslim)

    Melempar dan mengajarkannya adalah wajib atas setiap muslim, sesuai dengan kemampuannya. Meriam, tank baja, pesawat tempur dan berbagai senjata lainnya, semua membutuhkan latihan dan belajar melempar ketika menggunakannya. Alangkah baiknya jika para siswa di sekolah-sekolah diajari olah raga melempar atau memanah. Lalu digalakkan lomba untuk jenis olah raga tersebut, sehingga anak-anak menjadi siap guna mempertahankan agama dan tempat-tempat suci mereka.

    Sayang sekali, anak-anak sekarang lebih suka menghabiskan waktunya dengan bermain bola, dengan penyelenggaraan pertandingan di sana-sini. Mereka membuka paha (aurat) padahal Islam menyuruh kita untuk menutupinya, serta meninggalkan shalat padahal Allah menyuruh kita untuk menjaganya.
     
  4. Ketika kita kembali kepada aqidah tauhid,

    saling berkasih sayang dalam ikatan persaudaraan Islam, serta telah siap menghadapi musuh dengan berbagai senjata yang dimiliki. Maka insya Allah akan turunlah pertolongan buat kaum muslimin, sebagaimana pertolongan itu telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, dan kepada para sahabat sesudah beliau wafat.
    Allah berfirman,
    "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedu-dukanmu." (Muhammad: 7)
     
  5. Urutan periode sebagaimana di atas,
    tidak berarti masing-masing periode berdiri sendiri. Dengan kata lain, bahwa periode ukhuwah, tidak disertai oleh periode tauhid, tetapi periode-periode tersebut saling mengisi dan berhubungan erat.

TAWASSUL YANG DILARANG

 
Tawassul yang dilarang adalah tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam.
Di antara tawassul yang dilarang yaitu:
  1. Tawassul dengan orang-orang mati, meminta hajat dan memo-hon pertolongan kepada mereka, sebagaimana banyak kita saksikan pada saat ini.
    Mereka menamakan perbuatan tersebut sebagai tawassul, padahal sebenarnya tidak demikian. Sebab tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan.
    Seperti dengan perantara iman, amal shalih, Asmaa'ul Husnaa dan sebagainya.

    Berdo'a dan memohon kepada orang-orang mati adalah berpaling dari Allah. Ia termasuk syirik besar. Allah Subhanahu wata'ala  berfirman,

    "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim".
    (Yunus: 106)
    Orang-orang zhalim dalam ayat di atas berarti orang-orang musyrik.
     
  2. Tawassul dengan kemuliaan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Seperti ucapan mereka, "Wahai Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku." Ini adalah perbuatan bid'ah. Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.
    Adapun tawassul yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab dengan do'a paman Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, Al-Abbas adalah semasa ia masih hidup. Dan Umar tidak ber-tawassul dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam setelah beliau wafat.
    Sedangkan hadits,

    "Bertawassullah kalian dengan kemuliaanku."

    Hadits tersebut sama sekali tidak ada sumber aslinya. Demikian menurut Ibnu Taimiyah.
    Tawassul bid'ah ini bisa menyebabkan pada kemusyrikan. Yaitu jika ia mempercayai bahwa Allah membutuhkan perantara. Sebagai-mana seorang pemimpin atau penguasa. Sebab dengan demikian ia menyamakan Tuhan dengan makhlukNya.
    Abu Hanifah berkata, "Aku benci memohon kepada Allah, dengan selain Allah."
    Demikian seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrul Mukhtaar.
     
  3. Meminta agar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mendo'akan dirinya setelah be-liau wafat, seperti ucapan mereka, "Ya Rasulullah do'akanlah aku", ini tidak diperbolehkan. Sebab para sahabat tidak pernah melakukannya. Juga karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,

    "Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo'akan kepada (orang tua)-nya." (HR. Muslim)

 
| PPPI Miftahussalam Banyumas Jalan Raya Kejawar No.72 Banyumas Jawa Tengah - Telp.(0281)796121 / 796004 | Islamic Boarding School, in Banyumas